Senin, 15 Agustus 2016

Ruang Publik dalam Tembok Kampung

Anak muda itu jangan cuma bisa ngritik, harus ada solusi, jadi ada timbal balik. Itulah hakikat kemerdekaan, karena tumupuannya ada di anak muda yang kreatif dan inovatif.
-Ahok-

Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB suasana dinginnya dusun seolah sirna oleh semangat Mbah Gampang, Mas Marhen, Mas Herry, Mas Denny dan kawan muda kampung yang masih asik menarikan kuas cat di tembok kampung. Warga pun berkumpul di pinggir jalan menyaksikan proses dipenuhi rasa penasaran gambar seperti apa yang akan dihasilkan. Demikianlah semangat warga mempercantik tembok kampung yang sudah lama menganggur. Diskusi ramai di jagad media sosial juga tak kalah seru saling berbagi tugas dan ide untuk mengembalikan fungsi ruang publik bernama tembok.






Selama ini ruang publik di kampung hilang dan terdesak oleh kepentingan bisnis komersial pun kadang kampanye terselubung bertujuan pencitraan, menjadikan keprihatinan. Kampung Junggul yang berada di pusat bisnis hiburan dan pariwisata Bandungan juga menerima dampak dari ketidakadilan ruang publik ini. 


Lomba Mural Kampung, demikian yang tertulis dalam jadwal lomba panitia Kampung Semarak Merdeka Junggul 2016, persiapan yang dilakukan pun sudah jauh-jauh hari. Tembok yang sebelumnya kosong kembali dicat putih dieprsiapkan untuk menuangkan ide-ide kreativitas warga. Mural menurut Susanto dan Mikke dalam Diksi Rupa (2003) memberikan definisi sebagai lukisan besar yang dibuat untuk mendukung ruang arsitektur. Definisi tersebut bila diterjemahkan lebih lanjut, maka mural sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bangunan dalam hal ini dinding pembatas ruang maupun sekedar unsur yang harus ada dalam bangunan rumah atau gedung, namun dinding juga dipandang sebagai medium untuk memperindah ruangan. Seni mural bukan barang baru dikampung, dahulu setiap peringatan 17an orang-orang dewasa menghias gapura, pemandian umum, pos ronda dan sudut-sudut kampung agar terlihat indah dan warna warni. Mural sebagai sebuah seni visual, terbukti mampu menciptakan ruang publik di tengah ruang kampung yang selama ini terabaikan untuk dijadikan "galeri hidup" milik warga.



Mural pada perkembangannya telah menjadi bagian dari seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah. Penggambar mural melakukan komunikasi secara visual kepada masyarakat terhadap apa yang ingin dicurahkannya, sedangkan masyarakat sebagai penikmat dalam praktiknya mampu berinteraksi langsung kepada penggambar mural. Mereka yang menggambar bukanlah seniman mural, mereka adalah kawan-kawan muda yang memiliki impian mempercantik kampung dan menuangkan ide-ide mereka yang mungkin selama ini terabaikan. Mural yang dikerjakan di Kampung Junggul dikerjakan secara gropyokan  oleh warga tiap Rukun Tetangga tersebut menghadirkan sinergi yang baik sehingga setiap warga memiliki rasa handarbeni terhadap lukisan mural tersebut.

Pada akhirnya bahwa tidak sekedar kembalinya fungsi ruang publik di kampung yang selama ini terabaikan menjadi bermanfaat dan menjadi wadah karya seni namun juga pesan kebersamaan warga yang semakin guyub menjadi bermakna.



Salam Guyub, Kang Kolik.
ditulis di Jogja dalam suasana rindu

4 komentar: