Senin, 15 Agustus 2016

Guyub Adalah Kita

Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.
 -Imam Ali Bin Abi Thalib-
Guyub adalah perintah Gusti Allah dan RasulNya, amal kebersamaan yang menjadi ukuran iman kita di keseharian. Ia adalah cinta, kepedulian, dan gotong royong yang mencirikan tingginya keadaban. Guyub adalah pujian Rasulullah kepada kaum Asy’ari di Yaman yang jika musim paceklik tiba, maka mereka mengumpulkan persediaan makanan yang ada dalam simpanan masing-masing menjadi satu. Sebakdanya, konsumsi masing-masing diambil seperlunya dan sama rata, tak lagi diperhatikan berapa yang disumbangkannya, kecuali dalam cinta.


Demikianlah anak-anak muda Dusun Junggul saat ini, mereka sedang berproses membangun kampung kesayangan. Lingkungan Junggul dengan pluralitasnya memiliki tempat istimewa di hati setiap warga. Kemajemukan Junggul bukan menjadikan warganya untuk mengkotak-kotakkan diri namun melebur dalam semangat ke-Indoensiaan. 


Seperti halnya kampung-kampung di lereng gunungapi, Dusun Junggul dengan letak geografisnya di lereng Gunung Ungaran diuntungkan dengan modal alam yang bagus dan masyarakat yang guyub, jika hal ini di manage dengan baik tentunya akan memberikan kemaslahatan untuk warga masyarakat yang tinggal disana. Kerukunan dan semangat guyub yang ada saat ini adalah warisan para orang-orang tua di kampung kami sejak dulu.

Peringatan hari Kemerdekaan RI ke 71 dengan segala euforianya justru dijadikan momentum untuk membangun kesadaran kolektif demi kebaikan kampung yang memang belakangann ini kondisinya diperburuk dengan tata kelola birokrasi yang nggrambyang belum jelas arah kebijakannya. Namun nampaknya semangat kawan-kawan muda ini memberikan arahan yang jelas dan dalan padhang terhadap atmosfir sosial di kampung kami menjadi harapan yang baik. Tentunya tidak berlebihan jika saya katakan hal ini sejalan dengan konsep Revolusi Mental yang dicanangkan pemimpin negeri ini.


Para pahlawan bangsa menghadiahkan kemerdekaan kepada generasi sekarang ini dengan pengorbanan darah dan jiwa, menjaga kemerdekaan dapat dilakukan dengan saling menghormati dan guyub kepada sesama. 

Saya pribadi merinding ikut merasakan dinamika yang terjadi di kampung ini, menyaksikan energi warga kampung yang guyub dan teman-teman muda dengan semangat handarbeni-nya yang tak pernah padam. Semoga nyala lilin-lilin ini terus bertambah dan selalu terjaga yang akhirnya dapat memberikan kebaikan untuk dusun tercinta daripada terus mengutuk kegelapan.

Salam Kangen, Kang Cholik.
ditulis di Jogja, sambil bayangin bubur opak.

Ruang Publik dalam Tembok Kampung

Anak muda itu jangan cuma bisa ngritik, harus ada solusi, jadi ada timbal balik. Itulah hakikat kemerdekaan, karena tumupuannya ada di anak muda yang kreatif dan inovatif.
-Ahok-

Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB suasana dinginnya dusun seolah sirna oleh semangat Mbah Gampang, Mas Marhen, Mas Herry, Mas Denny dan kawan muda kampung yang masih asik menarikan kuas cat di tembok kampung. Warga pun berkumpul di pinggir jalan menyaksikan proses dipenuhi rasa penasaran gambar seperti apa yang akan dihasilkan. Demikianlah semangat warga mempercantik tembok kampung yang sudah lama menganggur. Diskusi ramai di jagad media sosial juga tak kalah seru saling berbagi tugas dan ide untuk mengembalikan fungsi ruang publik bernama tembok.






Selama ini ruang publik di kampung hilang dan terdesak oleh kepentingan bisnis komersial pun kadang kampanye terselubung bertujuan pencitraan, menjadikan keprihatinan. Kampung Junggul yang berada di pusat bisnis hiburan dan pariwisata Bandungan juga menerima dampak dari ketidakadilan ruang publik ini. 


Lomba Mural Kampung, demikian yang tertulis dalam jadwal lomba panitia Kampung Semarak Merdeka Junggul 2016, persiapan yang dilakukan pun sudah jauh-jauh hari. Tembok yang sebelumnya kosong kembali dicat putih dieprsiapkan untuk menuangkan ide-ide kreativitas warga. Mural menurut Susanto dan Mikke dalam Diksi Rupa (2003) memberikan definisi sebagai lukisan besar yang dibuat untuk mendukung ruang arsitektur. Definisi tersebut bila diterjemahkan lebih lanjut, maka mural sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bangunan dalam hal ini dinding pembatas ruang maupun sekedar unsur yang harus ada dalam bangunan rumah atau gedung, namun dinding juga dipandang sebagai medium untuk memperindah ruangan. Seni mural bukan barang baru dikampung, dahulu setiap peringatan 17an orang-orang dewasa menghias gapura, pemandian umum, pos ronda dan sudut-sudut kampung agar terlihat indah dan warna warni. Mural sebagai sebuah seni visual, terbukti mampu menciptakan ruang publik di tengah ruang kampung yang selama ini terabaikan untuk dijadikan "galeri hidup" milik warga.



Mural pada perkembangannya telah menjadi bagian dari seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah. Penggambar mural melakukan komunikasi secara visual kepada masyarakat terhadap apa yang ingin dicurahkannya, sedangkan masyarakat sebagai penikmat dalam praktiknya mampu berinteraksi langsung kepada penggambar mural. Mereka yang menggambar bukanlah seniman mural, mereka adalah kawan-kawan muda yang memiliki impian mempercantik kampung dan menuangkan ide-ide mereka yang mungkin selama ini terabaikan. Mural yang dikerjakan di Kampung Junggul dikerjakan secara gropyokan  oleh warga tiap Rukun Tetangga tersebut menghadirkan sinergi yang baik sehingga setiap warga memiliki rasa handarbeni terhadap lukisan mural tersebut.

Pada akhirnya bahwa tidak sekedar kembalinya fungsi ruang publik di kampung yang selama ini terabaikan menjadi bermanfaat dan menjadi wadah karya seni namun juga pesan kebersamaan warga yang semakin guyub menjadi bermakna.



Salam Guyub, Kang Kolik.
ditulis di Jogja dalam suasana rindu